MagzNetwork

Tsaqafy Edisi 01/2009

Diposting oleh Jurnal Tsaqafy | 10.42 | | 0 komentar »

Kandungan Isi :

Pengantar Redaksi
Apria Putra :
Eksistensi Kaum Tua di Luak nan Bungsu: Realitas Sejarah dan Koneksi Intelektual
Deddy Arsya :
Sejarah Ekonomi Masyarakat Kolok Mudik Pada Masa Tambang Rakyat (1998-2009):
Tinjauan Pengaruh Dunia Tambang Terhadap Ekonomi Masyarakat Pedesaan
Rara Handayani :
Bangsa Timur dalam Bayang-Bayang Budaya Barat: Antara Hegemoni dan Realitas
Siti Zahara :
Islam Lintas Etnis di Jakarta: Tinjaun Arkeologis atas Situs-situs Islam Abad ke-18 di Jakarta
Fauzan Hamidi :
Kebangkitan Anti-China: Tinjauan atas Isi Berita Koran Haluan 1973-1975
Aldes Witri Mutri :
Situs-Situs Hindu-Budha di Dhamasraya: Suatu Tinjauan Arkeologis


Untuk mendapatkan masing-masing artikel (full version) dari edisi ini dapat menghubungi : tsaqafy.fiba@gmail.com


Selengkapnya...

Pengantar Edisi 01/2009

Diposting oleh Jurnal Tsaqafy | 18.51 | | 0 komentar »

Pengantar ini tak akan berisi keluh-kesah tentang betapa sulitnya mengumpulkan karya tulis (yang ilmiah) untuk proporsi sebuah jurnal. Meskipun belakangan diturunkan menjadi ‘setengah ilmiah’ tetap tak banyak menolong. Alasan buruk bisa saja kita maklumi bahwa kita masih berada di dunia yang sedang bergerak dari kelisanan menuju keberaksaraan. Kita berada di negeri tempat para pendongeng dan tukangkabar lahir—tidak di negeri para pencatat. Tradisi tulis, bagi kita, adalah dunia lain yang datang kemudian, jauh-jauh waktu setelah kita mapan dengan kelisanan. Dan kini, ketika kita sesungguhnya belum cukup mapan dengan tradisi tulis, gelombang dunia visual memasuki ruang-ruang hidup kita pula begitu derasnya.

Pengantar ini tidak akan berisi keluh-kesah tentang betapa anehnya, dari sekian ratus orang yang belajar di ini sekolah, hanya terkumpul tak sampai sepuluh karya ilmiah. Kita hanya bisa memberikan alasan yang menyakitkan saja, bahwa tradisi menulis dan meneliti dalam generasi kita tidak seperti di Eropa, bahwa kerja kita begitu banyak di luar kerja remeh-temeh semacam keluar-masuk pustaka atau membolak-balik literatur-literatur lama. Waktu kita terlalu sempit untuk memikirkan hal lain di luar kebutuhan kita yang terkadang mendesak: uang kos yang belum dibayar, baju yang semakin sempit terasa di badan, ponsel tipe terbaru, motor yang kehabisan bensin, jalna-jalan bersama sang pacar, acara televisi Senin depan. Pengantar ini tak akan berisi keluh-kesah tentang betapa masygulnya usaha mengumpulkan beberapa tulisan ilmiah untuk dibukukan. Setelah menebar famplet ke mana-mana, menanti berbulan-bulan, bahkan menjemput bola dengan menghubungi orang-orang yang mungkin dapat menyumbangkan tulisan, tetap hanya terkumpul tak lebih dari sepuluh karya.

Tak bisa memang hanya menyalahkan mahasiswa kita yang rabun membaca dan gagap menulis. Tak bisa memang hanya menyesalkan mahasiswa kita yang tak punya tradisi meneliti, berpetualang dengan literatur, atau berdiskusi. Tak bisa memang hanya menyayangkan mahasiswa kita yang lebih sering banyak berkumpul-kumpul membicarakan tayangan televisi daripada mendalami dunia yang mungkin terlalu sunyi untuk masa muda kita yang gamang ini. Tapi, pengantar ini juga tak akan berisi keluh-kesah tentang perguruan tinggi yang tak berhasil mencetak kaum terdidik. Perguruan tinggi yang, seperti kata Ali Syariati, seperti benteng yang memenjarakan orang-orang di dalamnya. Kita, yang katanya kaum terdidik, seakan-akan dipisahkan dari realitas, berdiri tidak di bumi kita sekarang, tapi bumi lain, di bumi yang berbeda dari yang kita pijak kini.

Sekali lagi, pengantar ini tidak akan berisi keluh-kesah tentang perguruan tinggi yang terlalu banyak menuntut, tetapi tak mau menyemai. Perguruan tinggi yang bergirang dengan gerai pucuk, tetapi tak mau terlalu banyak menebar pupuk pada akar. Kita ternganga pada suatu pencapaian, tetapi lupa bagaimana pencapain itu diperoleh. Dalam artian lain, pengantar ini tak akan berisi keluh-kesah tentang para pendidik kita yang tak benar-benar berniat hendak melahirkan mahasiswa yang mumpuni di bidangnya; tentang mereka hanya datang beberapa kali sepekan untuk tugas mengajar, memberi nilai, dan selesai; tentang mereka yang sibuk menghabiskan waktu meniti jenjang karir; tentang mereka yang menganjurkan mahasiswa membaca tetapi diri sendiri malas membaca; tentang mereka yang mencoret-coret makalah mahasiswa sementara diri sendiri tak punya karya tulis.

Ah, betapa nyinyir pengantar ini. Tapi, sungguh, pengantar ini benar-benar berniat untuk tak akan berisi keluh-kesah. Hidup kita sudah terlalu kenyang dengan itu, bukan? Goenawan Mohamad mungkin benar ketika mengatakan: Jangan kutuk kegelapan, nyalakan lilin! Maka, baik kita rayakan saja apa yang ada!

Apria Putra membahas eksistensi kaum tua di luhak nan bungsu. Kaum tua menurutnya memberi andil yang besar dalam perkembangan dan pewarisan nilai-nilai Islam di daerah itu, terutama pewarisan intelektual; beberapa tradisi keislaman mereka masih tetap bertahan sampai hari ini. Deddy Arsya membicarakan bagaimana ekonomi pedesaan Sawahlunto bertahan dan berdinamika di tengah peralihan penguasaan tambang dari negara ke swasta—ke tangan para cukong. Rara Handayani mengkaji bagaimana produk-produk budaya barat menggeser budaya etnik yang mengakibatkan budaya etnik bangsa timur semakin terkikis ke pinggir. Siti Zahara mengulas dalam perspektif arkeologis, bagaimana akulturasi budaya di Jakarta tercermin dalam situs-situs Islam. Dari penelitian perempuan ini diketahui bahwa corak situs atau bangunan Islam di Jakarta pada abad ke-18 disusun atas ‘sumbangan’ berbagai etnis. Fauzan Hamidi mengulas kecendrungan isi berita anti-China di koran Haluan, dan didapat kesimpulan bahwa berita-berita tentang etnis China di Indonesia syarat provokasi dan cendrung mendisposisikan orang China dan keturunannya dalam kehidupan sosial dan bernegara. Aldes Witri Mutri meneliti situs-situs Hindu-Budha yang terdapat di Dhamasraya; beberapa situs memberikan informasi tentang keadaan Dhamasraya sebagai pusat peradaban pada masa silam.

Selengkapnya...